Kebebasan berpendapat dan berorganisasi merupakan hak dasar yang dijamin oleh konstitusi Indonesia. Namun, belakangan ini, situasi kebebasan berekspresi di Indonesia semakin memprihatinkan. Menurut laporan tahunan dari Amnesty International, pemerintah Indonesia semakin mengekang kebebasan berpendapat, dengan tindakan represif yang dilakukan terhadap para aktivis, jurnalis, dan masyarakat yang terlibat dalam aksi protes. Pada tahun 2024, sedikitnya 344 orang ditangkap dalam berbagai aksi protes, dengan 152 di antaranya mengalami cedera fisik akibat tindakan keras aparat keamanan. Selain itu, 17 orang lainnya dilaporkan terkena gas air mata yang digunakan untuk membubarkan massa. Angka ini menunjukkan betapa menurunnya ruang untuk berpendapat di Indonesia, di mana kekuatan aparat sering kali digunakan untuk menekan suara-suara yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat, baik itu terkait dengan isu lingkungan, kebijakan ekonomi, atau hak asasi manusia, seringkali berakhir dengan kekerasan. Sejumlah peristiwa yang tercatat dalam laporan tersebut mengungkapkan adanya penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian untuk membubarkan kerumunan. Hal ini menunjukkan ketegangan yang meningkat antara rakyat dan negara, di mana pemerintah lebih memilih menggunakan cara represif daripada dialog terbuka untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Tindakan ini juga menunjukkan ketidakmampuan aparat dalam menjaga hak konstitusional warga negara untuk menyuarakan pendapat secara damai tanpa takut akan represi.
Namun, yang lebih memprihatinkan adalah adanya laporan mengenai penggunaan alat-alat pengawasan atau spionase terhadap aktivis, jurnalis, dan bahkan kelompok-kelompok masyarakat sipil yang dianggap kritis terhadap pemerintah. Pemerintah Indonesia belakangan ini dikritik karena semakin bergantung pada teknologi canggih untuk memantau dan mengawasi aktivitas komunikasi, baik itu melalui penggunaan spyware atau alat pemantauan lainnya. Salah satu spyware yang kerap digunakan adalah Pegasus, yang memiliki kemampuan untuk menyusup ke perangkat ponsel dan mengambil alih kontrol, termasuk memantau percakapan pribadi, pesan teks, hingga data lokasi pengguna. Laporan dari sejumlah organisasi yang berfokus pada privasi dan hak digital mengungkapkan bahwa Indonesia bukan hanya menggunakan alat ini untuk memantau para aktivis, tetapi juga jurnalis yang menulis laporan yang mengkritik kebijakan pemerintah.
Kenyataan ini semakin meresahkan, karena meskipun Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang disahkan pada tahun 2022, implementasinya masih sangat lemah. UU ini seharusnya memberikan perlindungan terhadap data pribadi warganya dari penyalahgunaan, termasuk dalam hal pengawasan dan spionase. Namun, dalam praktiknya, undang-undang ini masih jauh dari harapan. Banyak perusahaan teknologi besar yang dapat dengan mudah mengakses data pribadi masyarakat Indonesia tanpa adanya kontrol yang jelas. Hal ini semakin memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung hak asasi manusia, bukan justru menjadi pelaku pelanggaran terhadap hak tersebut.
Masalah ini juga menunjukkan ketidakseimbangan kekuatan antara negara dan masyarakat sipil, di mana negara menggunakan teknologi sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya dan membungkam suara-suara kritis. Banyak aktivis dan jurnalis yang mengungkapkan ketakutan mereka akan privasi mereka yang terancam, serta dampak yang lebih besar terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia. Tidak hanya mereka yang terlibat langsung dalam aksi protes atau jurnalisme investigasi yang menjadi korban, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan yang mulai merasakan dampak dari pengawasan ini, yang pada akhirnya menciptakan rasa ketakutan kolektif.
Selain itu, fenomena ini juga memperlihatkan masalah yang lebih besar dalam hal tata kelola negara dan penegakan hukum. Ketika pemerintah mengabaikan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan teknologi pengawasan, ini bisa mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan yang lebih besar. Tanpa mekanisme kontrol yang efektif, alat-alat ini bisa digunakan untuk tujuan yang lebih buruk, seperti memata-matai lawan politik atau mengintimidasi kelompok yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi yang mengutamakan kebebasan individu dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, bahkan di tengah-tengah tekanan sosial dan politik yang kuat.
Amnesty International sendiri telah lama mengingatkan bahwa hak untuk bebas dari pemantauan tanpa izin adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak bisa diganggu gugat. Setiap individu berhak untuk berpendapat tanpa harus merasa terancam oleh tindakan pengawasan yang berlebihan. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi pemerintah Indonesia untuk menegakkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dengan serius dan melibatkan berbagai pihak untuk memastikan bahwa kebebasan berpendapat dan privasi individu dilindungi.
Penting bagi masyarakat Indonesia untuk semakin sadar akan pentingnya hak mereka untuk bebas berpendapat, berorganisasi, dan berkomunikasi tanpa takut akan pengawasan yang berlebihan. Negara harus hadir untuk melindungi hak-hak tersebut, bukan justru mengekangnya. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan ruang yang aman bagi setiap warga negara untuk menyuarakan pendapat dan berpartisipasi dalam proses demokrasi, tanpa takut akan represi atau pengawasan yang tidak sah.